npm : 10208906
kelas : 3ea02
TELINGA saya berdengung seakan-akan saya tak biasa, ketika di satu kesempatan berwawancara dengan salah seorang mahasiswa di kampus tempat saya mengabdi."Apa tujuan anda kuliah?" Lalu pertanyaan saya dengan enteng dia jawab,"Saya tak tahu tujuan kuliah saya, paling buat cari kerja".
Jawaban tadi bagi kalangan anak-anak kampus adalah hal biasa, tetapi kali ini membuat saya merasa jengkel. Betapa tidak? Meski itu bukanlah menjadi urusan pribadi saya, tapi paling tidak, sebagai anggota kalangan pendidik, saya merasa ikut bertanggung jawab dengan apa yang dilakukan mahasiswa tadi, atau pun mahasiswa lainnya yang mungkin memiliki visi dan misi apatis yang sama.
Lalu saya tanya kembali,"Jadi buat apa anda kuliah bila tak tahu tujuan? Mengapa tidak menjadi pengusaha saja?" Mahasiswa itu kemudian menjawab,"Pengusaha kan
butuh modal". Saya lalu bertanya kembali,"Anda masuk kuliah juga memakai modal kan
?" Dahinya tiba-tiba mengerut bingung, saya ingin tertawa melihat ekspresi wajahnya. "Coba hitung jumlah uang kuliah yang telah dikeluarkan?" tanya saya,"Dan hitung lagi detik demi detik yang kamu lewati dan hasil tenaga yang kamu gunakan? Berapa?" Antara ingin tertawa dan prihatin dengan perubahan wajahnya yang mendadak kaku, saya bertanya lagi,"Ada tidak hasilnya? Bermanfaat tidak?"
Saya menggeleng kepala, ketika dia memaparkan mimpinya yang suatu saat ingin menjadi manajer di sebuah perusahaan dan memiliki uang banyak dengan dimulai mencari kerja setelah lulus nanti. Saya hanya tersenyum pahit ketika menyadari orang boleh bermimpi, dengan berusaha keras. Yang membuat hati saya gundah adalah mencari kerja sesuai impian apakah semudah yang dibayangkan? Apalagi di saat banyaka manusia Indonesia yang menjerit kebingungan mencari cara mendapatkan penghasilan untuk hidup sewajarnya.
Cara Berpikir
Sebenarnya cara berpikir akan tujuan kuliah pada masa siswa berusia awal produktivitas, haruslah ditekankan dengan diberikan gambaran arti masa depan pada saat mereka sudah mulai memasuki jenjang akhir sekolah menengah, agar mereka tidak menjadi manusia yang hanya ikut-ikutan atau sekadar latah ingin kuliah karena gengsi akan sebuah "prestise".
Pembenahan cara berpikir, tamat sekolah SMA/SMK tidak selalu diharuskan kuliah, tetapi lebih ditanamkan kepada mereka bahwa kuliah itu untuk menggali potensi diri dari apa yang menjadi keinginan dan bakat diri, dan untuk menunjang kualitas cara berpikir dan berusaha di bidang yang ingin digelutinya dalam mencapai masa depan, bukan sekadar untuk mencari kerja. Karena kenyataannya begitu banyak pola pikir anak muda yang belum bisa dihilangkan adalah kuliah karena ingin mendapatkan selembar kertas sertifikat untuk mencari kerja. Hasilnya? Bukan jumlah puluhan manusia muda yang menjadi penganggur, bahkan jumlah pengangguran kini telah mencapai angka jutaan di atas sewajarnya setiap tahunnya.
Sangat disayangkan uang berhamburan tak jelas seperti itu. Bila saja uang itu digunakan untuk menjadi modal untuk berusaha, pastilah akan terlihat hasilnya. Dengan modal yang tak harus besar, dengan menyesuaikan target sasaran, penghitungan yang cermat, dan banyak belajar dari para pengusaha sukses dalam berusaha, dan terutama hemat dalam pengeluaran operasional , saya yakin, modal itu tak akan terbuang percuma.
Menjalankan Usaha
Dalam menjalankan usaha, setiap orang pastilah tidak selalu lancar dan menguntungkan. Kadang harus turun tebing, baru merangkak naik kembali, kembali terjatuh, tersandung, terpeleset, dan harus sengsara dulu. Dengan jalan seperti itulah, puncak dari petualangan berusaha akan dicapai, salah satunya mendapatkan kebahagiaan itu. Dan yang jelas, justru hal seperti inilah yang dapat mempercerdas daya pemikiran kita, karena otak kita terus dilatih oleh keadaan yang membuat kita mampu bersaing dan mengelola hidup ini, dari pada hanya sekadar menjadi pekerja yang duduk di balik meja dan tak memiliki daya kembang pemikiran untuk sesuatu yang lebih berarti.
Dan yang terpenting untuk menjadi pengusaha adalah seseorang yang dapat memberi manfaat bagi orang lain, bisa membantu orang lain, bisa menolong orang lain. Bukan malah menjadi pengemis berdasi menginginkan akan sebuah pekerjaan di sebuah perusahaan dengan stagnasi karir yang paling hanya mendapatkan penghasilan seperempat dari pada seorang pengusaha.
Saya jadi teringat pada pakaian yang saya kenakan saat itu, sangatlah elegan. Di sebuah bank, saya mengantre, karena ingin menyetor sisa uang gaji saya untuk ditabung yang tak sampai setengah juta, di depan saya berdiri seorang laki-laki tua yang berpakaian sangat sederhana, dan saya kenal orang itu. Bapak penjual baso kegemaran saya di pasar. Beliau menyetor uang dari hasil dagang seharinya dengan jumlah lima kali lipat dari sisa gaji hasil keringat saya yang terperas selama sebulan. Saya hanya tertawa dalam hati. Menertawakan diri saya sendiri. Karena sama-sama manusia, tapi ternyata saya kalah gesit dan giat daripada bapak tua itu. Saya berpikiran: buat apa tampang saya "jenderal", kalau saya berdompet "kopral". Mending saya bertampang "kopral" tapi saya berdompet "jenderal". Saya tertegun, pastinya saya bisa bantu orang lain lebih banyak, kalau saya memiliki penghasilan yang banyak juga, iya kan?
Modal Sedengkul
Sejak itulah akhirnya dengan modal cuma sedengkul, saya beranikan diri untuk membuka usaha. Usaha yang sesuai dengan bakat saya. Dan alhamdulillah, kini saya memiliki dua kantong yang bisa saya gunakan untuk tak hanya sekadar memenuhi kebutuhan sendiri, akan tetapi juga sekaligus mengamalkan hasil pendapatan saya untuk membantu orang lain.
Tak hanya sebagai seorang pegawai yang selama ini terbiasa menerima gaji, kini sering kali saya diliputi perasaan haru dan bahagia ketika bisa memberi gaji kepada orang lain dengan uang dari hasil usaha yang kita rintis.
Padahal, selama ini kita sering memberi gaji atau upah kepada pembantu dengan uang kita sendiri, uang dari gaji kita sendiri. Namun beda sekali rasanya menggaji karyawan dengan uang hasil usaha dari usaha kita sendiri. Yang pertama ada perasaan mengurangi uang dari kantong kita, sedangkan yang kedua mampu menghadirkan rasa bahwa jerih payah kita membuka usaha bisa bermanfaat, bisa menjadi jalan untuk menolong orang lain dan membahagiakan orang lain, yaitu karyawan kita.
Tidak bisa dipungkiri, dengan berbisnis kita mengharapkan mendapatkan keuntungn yang cukup dan bisa menutupi biaya-biaya yang timbul. Untuk itu, kita perlu menetapkan target harian, mingguan dan bulanan. Saat-saat bisa mencapai omset yang ditargetkan dan melampauinya, bisa menjadi momen yang menggembirakan dan memuaskan. Pada saat saya menjalani bisnis, saya paling senang mendapatkan cash-in setiap harinya, sangat berbeda dengan menjadi pegawai yang mendapatkan cash-in setiap bulannya.
Bukankah Tuhan telah berseru kepada manusia untuk terus berusaha? Bukankah kita telah diberikan akal untuk diolah menjadi pemikiran yang kreatif? Kata-kata yang selalu terngiang ditelinga saya adalah telah diciptakan oleh-Nya 10 pintu rejeki. Sembilan di antaranya adalah bagi para pedagang/pengusaha, dan hanya satu untuk si pekerja. Indah bukan?***
sumber : http://kabar-cirebon.com
salam kenal jg.. :)
BalasHapus